Deskripsi
URGENSI TEMA
Haji adalah rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Maka menuntut ilmu tentang manasik tentu merupakan suatu yang wajib pula.
Buku ini adalah salah satu buku Haji dan Umrah yang menyajikan rangkaian tata cara manasik dengan latar belakang napak tilas perjalanan Haji dan Umrah Nabi a. Membaca buku ini, Anda seakan berdiri di tepi medan manasik, menyaksikan langsung perjalanan haji yang dilakukan sang guru agung, Muhammad a, sehingga setelah mengkajinya Insya Allah Anda dapat membayangkan dengan jelas tata cara manasik Haji dan Umrah yang shahih, yang dicontohkan oleh Nabi a, untuk kemudian mencontohnya, setapak demi setapak, selangkah demi selangkah.
Nabi a telah bersabda,
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ.
“Ambillah tata cara manasik kalian dariku.”
Buku ini berhasil merekam perjalanan Haji Nabi a secara urut berdasarkan kronologi peristiwa, sejak beliau melangkah dari Madinah, hingga detik-detik terakhir menjelang beliau akan meninggalkan Makkah untuk kembali pulang, lengkap dengan dzikir dan doa serta apa saja yang beliau baca dalam setiap momen. Dan semua itu diletakkan secara apik dalam nomor-nomor urut, sehingga dengan memegang panduan ini, akan sangat memudahkan mengingatnya, sampai di mana Anda melangkah.
Lebih dari itu, semuanya tegak berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta atsar para sahabat Nabi a. Nama besar penulisnya, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sebagai pakar ahli hadits ternama menjadi jaminan bahwa hadits dan atsar yang menjadi landasannya, pastilah tsabit sebagai landasan amal. Peganglah buku ini dan jadikan sebagai pembimbing Anda selama melaksanakan manasik, insya Allah akan mengarahkan kepada amaliah Haji dan Umrah yang sesuai dengan Sunnah Nabi a.
“Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga”, sebagaimana sabda Nabi a. Maka gapailah dengan mengikhlaskan niat dan mengikuti napak tilas dan sifat manasik Nabi a.
GAMBARAN SIMPEL DAN PRAKTISNYA ISI BUKU
Dalam mukadimah buku ini, penulis, Imam al-Albani, menyuguhkan nasehat-nasehat yang sangat berharga bagi kaum muslimin, agar semua orang benar-benar beruntung meraih haji Mabrur. Silahkan Anda nikmati dalam buku ini. Dan sebagai gambaran isi dan sebagian rangkaian manasik, di bagian awalnya, secara ringkas adalah sebagai berikut:
(1). Disunnahkan bagi setiap jamaah haji untuk mandi.
(2). Laki-laki boleh menggunakan pakaian ihram apa saja yang disukainya, yang penting tidak dibentuk sesuai bentuk badan atau yang disebut oleh para ulama dengan “tidak berjahit”, ditambah dengan sepasang sandal yang tidak menutupi mata kaki.
(3). Tidak mengenakan peci, sorban, atau yang sejenisnya yang langsung menutupi kepala.
Sedangkan bagi kaum wanita, mereka tetap wajib mengenakan semua pakaian yang disyariatkan, hanya saja tidak dibolehkan mengenakan tutup wajah (cadar) dan sarung tangan.
(4). Boleh mengenakan pakaian Ihram sebelum Miqat sekalipun dari rumah, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah a. dan para sahabat beliau. Di sini terkandung keringanan bagi orang yang hendak berangkat Haji dengan pesawat terbang, yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengenakan pakaian ihram dari miqat (di darat). Maka boleh bagi mereka ini menaiki pesawat dengan mengenakan pakaian ihram, tetapi tidak memulai ihram kecuali menjelang posisi miqat, agar jangan sampai mereka terlewat sedangkan mereka belum mulai ihram.
(5). Setelah mengenakan baju ihram, disunnahkan mengoleskan minyak lulur dan minyak wangi jenis apapun yang disukai di badannya, tapi dengan syarat tidak meninggalkan warna. Sedangkan jamaah wanita hanya boleh mengoleskan minyak-minyak olesan yang tidak wangi. Point-point di atas adalah sebelum berniat Ihram di miqat, sedangkan setelah itu maka haram.
(6). Apabila telah sampai di miqat wajib berniat ihram, dan niat tersebut tidak cukup di dalam hati karena niat di dalam hati itu telah ada sejak dia berangkat dari negerinya (atau kotanya), akan tetapi niat tersebut harus disertai ucapan atau perbuatan yang dengan itu dia menjadi seorang yang berihram. Jika seseorang bertalbiyah misalnya, maka itu cukup sebagai syarat niat Ihramnya, sesuai dengan kesepakatan ulama’.
(7). Tapi tidak boleh melafazkan niat ketika berniat sambil bertalbiyah tersebut, karena itu termasuk ajaran-ajaran bid’ah.
(8). Miqat (tempat Ihram) ada lima tempat: “Dzul Hulaifah”, “Al Juhfah”, “Qarn Al Manazil”, “Yalamlam” dan “Dzatu Irq”. Miqat-miqat itu adalah untuk para penduduknya dan orang-orang yang datang melaluinya dari orang-orang yang memang ingin melaksanakan Haji atau Umrah. Sedangkan bagi orang yang rumahnya di dalam batas miqat (baca: setelah lewat miqat ke arah Makkah), maka tempat memulai ihram adalah dari tempat tinggalnya, sampai bahkan penduduk Makkah memulai ihram dari Makkah.
(9). Bila seseorang hendak melakukan Ihram; jika akan memilih Haji Qiran dimana dia membawa binatang hadyu, (sambil berniat) dia mengucapkan,
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ بِحَجَّةٍ وَ عُمْرَةٍ.
“Aku penuhi panggilanMu Ya Allah dengan Haji dan Umrah.”
Tetapi jika dia tidak membawa hewan hadyu (kurban), dan ini lebih utama, maka hendaklah bertalbiyah dengan Umrah saja, dan bersama niatnya dia mengucapkan,
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ بِعُمْرَةٍ .
“Aku penuhi panggilanMu Ya Allah dengan Umrah.”
Jika seseorang telah terlanjur bertalbiyah Haji Ifrad (Haji saja), dia harus merubahnya menjadi Umrah, berdasarkan perintah Nabi a, dan juga sabda beliau,
دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِى الْحَجِّ إلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ؛ وَشَبَكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.
“Umrah telah masuk ke dalam Haji sampai hari Kiamat.” Dan Sambil (bersabda demikian) beliau menyatukan jari-jari kedua tangan beliau.”
Beliau juga bersabda:
يَا آ لِ مُحَمَّدٍ، مَنْ حَجَّ مِنْكُمْ فَلْيُهِلَّ بِعُمْرَةٍ فِيْ حَجَّةٍ.
“Wahai keluarga Muhammad, barangsiapa yang menunaikan Haji di antara kalian maka hendaklah melakukan ihram dengan Umrah dalam Haji.”
(10). Jika seseorang ingin menyebutkan syarat kepada Allah karena khawatir terjadi suatu penghalang seperti sakit atau serangan musuh, maka seseorang boleh mengucapkan (bersama niat Umrah dan Haji di atas) sebagaimana yang diajarkan Nabi a:
اللّهُمَّ محِلِّيْ حَيْثُ حَبَسْتَنِيْ.
“Ya Allah, tempat tahallulku adalah dimana Engkau menahanku.”
Dan dengan syarat tersebut, jika dia terhalang oleh sesuatu seperti sakit atau musuh, dia boleh bertahallul dari Haji atau Umrahnya, di tempat dia mendapatkan halangan tersebut, dan dia tidak wajib membayar dam dan dia bisa melaksanakan Haji kembali pada tahun-tahun berikutnya.
(11). Tidak ada shalat sunnah khusus bagi Ihram, akan tetapi jika bertepatan dengan waktu shalat sebelum dia Ihram, lalu dia shalat kemudian Ihram setelah selesai shalat, itu merupakan tauladan terhadap Rasulullah a, dimana beliau melakukan Ihram setelah beliau Shalat Zhuhur.
Akan tetapi bagi penduduk kota Madinah yang miqatnya adalah Dzul Hulaifah disunnahkan untuk Shalat sunnah di Wadi Al-Aqiq; bukan untuk Ihram tetapi untuk kekhususan dan berkahnya tempat tersebut, sebagaimana Nabi a mengabarkan tentangnya, “Tadi malam aku didatangi seorang utusan dari Rabbku, dia berkata, ‘Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini’.”
Dan dari Ibnu Umar dari Nabi a, “Bahwasanya beliau diperlihatkan dalam mimpi bahwa beliau singgah istirahat (dan tidur) di akhir malam (dalam suatu safar) di Dzul Hulaifah di tengah lembah, dikatakan kepada beliau, ‘Anda sedang berada di lembah yang penuh berkah’.”
(12). Kemudian hendaklah menghadap Kiblat sambil berdiri, kemudian bertalbiyah dengan Umrah (untuk Haji Tamattu’) atau dengan Haji dan Umrah (untuk Haji Qiran bagi mereka yang menggiring binatang Kurban), lalu mengucapkan,
اللَّهُمَّ هذِهِ حَجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيهَا، وَلاَ سُمْعَةَ.
“Ya Allah, Haji (yang kulakukan) ini tidak untuk riya’ dan sum’ah (pamer).”
(13). Kemudian bertalbiyah dengan talbiyah Nabi a:
Pertama dengan lafazh yang terkenal:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ.
Dan terdapat talbiyah lain yang juga shahih dari Nabi a, yang bisa Anda temukan dalam buku ini. Lebih dari itu, konsisten dengan talbiyah-talbiyah Nabi a tentu lebih utama, sekalipun boleh menambah talbiyah beliau tersebut, berdasarkan taqrir (restu) terhadap tambahan yang dilakukan sebagian sahabat-sahabat beliau, (yang lafazh-lafazhnya disebutkan dalam buku kita ini).
(14). Bertalbiyah diperintahkan dengan mengeraskan suara. Nabi a bersabda: “Aku didatangi oleh Jibril dan menyampaikan kepadaku agar aku memerintahkan para sahabatku dan semua orang yang bersamaku untuk mengeraskan suara mereka dengan talbiyah.”
Dan Nabi a juga bersabda, “Sebaik-baik haji adalah mengeraskan suara dengan talbiyah dan mengalirkan darah hadyu (kurban).”
Kaum wanita juga sama dengan laki-laki dalam hal mengangkat suara ketika bertalbiyah, karena umumnya kedua hadits di atas tadi; maka mereka juga di syariatkan mengeraskan suaranya selama tidak ada kekhawatiran terjadinya fitnah.
(15). Hendaklah terus menerus mengumandangkan talbiyah (dalam perjalanan menuju Makkah), karena itu termasuk di antara Syi’ar Haji. Rasulullah a bersabda, “Tak seorangpun yang bertalbiyah kecuali setiap yang berada di kanan kirinya ikut bertalbiyah, baik pepohonan maupun bebatuan…”
Khususnya lagi ketika melewati jalan menanjak dan menuruni lembah.
(16). Boleh menyelingi talbiyah dengan tahlil, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud y, “Aku berangkat (pada Haji Wada’) bersama Nabi a, maka beliau tidak pernah berhenti mengumandangkan talbiyah sampai melempar Jumrah Al Aqabah, hanya saja beliau kadang menyelingi talbiyah dengan tahlil.”
(17). Apabila telah sampai Masjidil Haram dan melihat Ka’bah, hendaklah berhenti bertalbiyah, untuk berkonsentrasi dengan amal-amal manasik berikutnya.
(18). Barangsiapa yang dimudahkan untuk mandi sebelum memasuki kota Makkah, maka hendaklah dia mandi, kemudian hendaklah dia masuk siang hari sebagaimana yang dicontohkan Nabi a.
(19). Hendaklah dia masuk ke dalam Masjidil Haram dari al-Ulya yang sekarang dikenal dengan bab (pintu) al-Mu’allah, karena Rasulullah a memasukinya melalui ats-Tsaniyah al-Ulya [Kada`] dan masuk ke dalam Masjidil Haram dari pintu Bani Syaibah; karena ini adalah jalan paling dekat ke Hajar Aswad.
(20). Tapi boleh memasukinya lewat jalan manapun yang disukainya, berdasarkan Sabda Nabi a, “Setiap jalan kota Makkah adalah jalan (yang bisa dilalui).”
(21). Ketika masuk ke dalam Masjid, jangan lupa dahulukan kaki kanan dan berdo’a,
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ سَلِّمْ, اللّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
Atau boleh juga dengan doa yag lain sebagaimana dirinci dalam buku ini.
(22). Apabila telah melihat Ka’bah seseorang boleh mengangkat kedua tangannya jika mau, karena hal ini telah dicontohkan oleh sahabat Abdullah bin Abbas p.
(23). Tidak terdapat do’a yang dicontohkan Nabi a ketika melihat Ka’bah ini, tapi terdapat do’a yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab y yang jika seseorang berdoa dengannya, maka itu adalah suatu yang baik,
اللّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ, وَمِنْكَ السَّلَامُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ.
Dan begitu seterusnya hingga akhir manasik, lengkap dengan hal-hal detil yang dibutuhkan setiap jama’ah haji dan umrah. Dan ke 23 nomor ini, adalah gambaran sajian buku ini, yang sangat jelas membimbing kita untuk melaksanakan Haji dan Umrah sesuai dengan ajaran Nabi a. Dan yang 23 nomor ini hanya sebagian darinya..
Di akhir buku ini, penulis, Syaikh al-Albani melengkapi dengan menyebutkan bid’ah-bid’ah yang banyak terjadi dalam rangkaian manasik haji, seperti: bid’ah-bid’ah ihram, bid’ah-bid’ah thawaf, bid’ah-bid’ah Sa’i, bid’ah-bid’ah di Padang Arafah, bid’ah-bid’ah mabit di Muzdalifah, bid’ah-bid’ah melontar Jumrah dan lain sebagainya. Semua ini adalah hasil penelusuran penulis dari berbagai praktek kaum muslimin yang tidak memiliki dasar dalam Syari’at islam; yang merupakan nasehat penting bagi kaum muslimin agar tidak terjatuh ke dalamnya.
TAMBAHAN-TAMBAHAN PENTING
Naskah asli dari buku ini kami terjemahkan secara utuh apa adanya; hanya saja, agar semua kebutuhan ilmiah jamaah haji dengan keterangan-keterangan yang dibutuhkan selama manasik tersaji dalam satu genggaman, maka kami, penerbit, melengkapinya dengan:
Pertama: Gambar-gambar penjelas, seperti: gambar denah Masjidil al-Haram, agar jamaah Haji bisa mendeteksi, misalnya, dari pintu mana sunnahnya masuk pertama kali ke dalam Masjid agar sesuai dengan sunnah Nabi a. Juga gambar maqam Nabi Ibrahim k, agar jelas posisi yang dibutuhkan untuk Shalat sunnah seusai thawaf, sesuai sunnah Nabi a. Dan begitu seterusnya. Bahkan juga kami lengkapi dengan gambar denah Masjid Nabawi, yang sangat dibutuhkan ketika berziarah ke sana. Dan kami membedakannya dari lembaran teks buku yang pokok dengan blok warna abu.
Kedua: Risalah ziarah ke Masjid Nabawi. Berziarah ke Masjid Nabawi, atau ke makam Baqi’, atau ke makam para syuhada` Perang Uhud tidak termasuk dalam rangkaian manasik Haji maupun Umrah. Akan tetapi mumpung sedang berada di sana, alangkah baiknya setiap muslim berziarah ke Masjid Nabi a, dengan niat untuk beribadah di sana dan kalau sudah di sana, seseorang dianjurkan untuk mengucapkan salam kepada Nabi SAW, dan kedua sahabat beliau; Abu Bakar dan Umar, bahkan juga kaum Mukminin yang dikuburkan di Kubur Baqi’ dan para syuhada` Uhud.
Ketiga: Doa-doa pilihan dari al-Qur`an dan as-Sunnah. Ini sebagai alternatif bagi jama’ah haji, selama menjalankan manasik Haji. Hal itu karena dalam banyak momen, banyak waktu luang untuk bermunajat kepada Allah. Dalam Thawaf misalnya, hanya satu dzikir dan satu doa yang tsabit dari Nabi a. Dalam Sa’i, hanya dzikir dan doa di bukit Shafa dan Marwa, lalu di Padang Arafah juga hanya ada satu doa, maka selebihnya, seseorang boleh berdoa dengan doa apa saja yang diinginkannya, yang di antaranya bisa Anda pilih di akhir buku ini.
Buku ini adalah pilihan yang baik untuk menggapai haji Mabrur, Insya Allah
Review
Belum ada ulasan.