Deskripsi
URGENSI TEMA DAN LATAR BELAKANG BUKU
Kitab Bulughul Maram adalah kitab yang dikenal luas di seluruh dunia Islam, bahkan telah menjadi panduan primer bagi kalangan yang sangat luas. Kitab ini menjadi kajian pokok dan materi pengajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan yang formal maupun yang non formal, di seluruh dunia Islam. Dan sejak awal munculnya di dunia Islam, buku Bulughul Maram telah menjadi buku primer best seller hingga saat ini. Banyak buku diklaim oleh media sekuler sebagai best seller, akan tetapi tidak seperti kitab Bulughul Maram yang best seller sepanjang masa. Kitab Bulughul Maram ini, baik yang asli berbahasa Arab maupun yang terjemahan dalam berbagai bahasa dunia, telah diterbitkan oleh berbagai penerbit dan berbagai versi, dan semuanya laris hingga saat ini.
Bulughul Maram ini telah mendapat pujian dari banyak para ulama sebagai kitab himpunan hadits-hadits hukum dan fikih Islam paling ringkas dan paling padat. Karena itu, begitu banyak dan luas hadits-hadits hukum dan fikih dalam Islam yang harus dipelajari seorang Muslim, bisa dimulai mendalaminya dengan kitab Bulughul Maram. Sekalipun ringkas, kitab ini memuat hadits-hadits yang paling pokok dalam hukum Islam, dalam semua masalah hukum dan fikih yang paling dasar: Kitab “Thaharah”; “Shalat”; “Zakat”; “Puasa”; “Haji”; “Jual beli”; “Pernikahan”; “Jinayat (Hukum perdata)”; “Hudud (hukum pidana)”; “Jihad”; “Makanan dan Minuman”; “Sumpah, Nadzar dan kehakiman”, dan “Masalah-masalah Fikih Beragam”.
Ini ditambah oleh kenyataan lain yang tak terbantahkan, yaitu kedudukan penulisnya sebagai seorang pakar yang utama dalam ilmu secara umum dan ilmu hadits secara khusus. Kedudukan tinggi beliau ini, bahkan ditegaskan oleh pernyataan banyak ulama bahwa beliau adalah orang yang terakhir yang meraih gelar amirul mu`minin dalam hadits dan ilmu hadits, yang merupakan gelar tertinggi dalam disiplin ini.
Nah, karena begitu penting urgensi dan kedudukan kitab Bulughul Maram ini dalam hukum dan fikih Islam, maka banyak para ulama telah mensyarahnya, agar hadits-hadits hukum di dalamnya mudah dipahami oleh seluas mungkin masyarakat muslim. Maka syarah Bulughul Maram adalah suatu yang sangat penting, karena dengan syarah inilah hadits-hadits hukum yang paling mendasar untuk diketahui orang Islam, yang termuat dalam kitab ini, menjadi terurai dan mudah diamalkan. Dan di antara syarah yang kita kenal secara luas adalah Subulus Salam, milik Imam ash-Shan’ani; Taudhih al-Ahkam, Milik Syaikh Abdullah bin Ali Bassam; Fathul Dzil Jalali wal Ikram, milik Imam Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; Fiqhul Islam milik Syaikh Abdul Qadir Syaibah al-Hamd yang merupakan kitab asli dari buku yang kita resensi kali ini; dan lain sebagainya
Masing-masing syarah itu tentu memiliki karakter, kelebihan dan keistimewaan tersendiri, dan masing-masing penerbit juga memiliki pertimbangan masing-masing dalam memilih naskah yang baik untuk diterbitkan.
Nah, kami, DARUL HAQ, berangkat dari semua itu, dan karena begitu pentingnya kitab Bulughul Maram bagi setiap kaum muslimin umumnya dan para penuntut ilmu secara khusus, maka kami memilih Syarah yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Qadir Syaibah al-Hamd, dengan pertimbangan:
1. Syarah inilah yang paling simpel dan ringkas.
2. Mencakup pemahaman hadits riwayat dan dirayah. Yakni, di samping menjelaskan makna hadits, syaikh penulis juga menjelaskan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan ushul hadits, seperti: perbedaan jalan dan lafazh riwayat hadits, illat hadits, dan jawaban terhadap kritik sebagian kalangan terhadap sebagian hadits.
3. Syarah Bulughul Maram yang diterbitkan DARUL HAQ ini memiliki metodologi sajian yang apik dan rapi dengan tetap menjaga prinsip ringkas dan praktis di atas:
A. Matan hadits lengkap dengan harakat dan terjemah.
B. Takhrij secara sangat ringkas.
C. Kosa kata yang sulit dalam matan hadits yang tengah dibahas.
D. Penjelasan, yang mencakup makna hadits dan riwayat hadits.
E. Kesimpulan-kesimpulan hukum dari hadits.
Ini ditambah oleh kedudukan penulis, Syaikh Abdul Qadir Syaibah al-Hamd, yang pernah menjadi guru besar di Universitas Ummul Qura, Makkah al-Mukarramah dan juga menjadi guru tetap di Masjid Nabawi, Madinah al-Munawwarah.
GAMBARAN METODOLOGI SAJIAN BUKU SECARA RINGKAS
Salah satu yang ingin kami angkat untuk menggambarkan karakter tulis dan sajian taktis dan praktis pembahasan buku kita ini adalah hadits no. 6 dari “Bab Bejana”:(6). Dari Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiyallauhu ‘anhu, beliau berkata,
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِيْ آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: لاَ تَأكُلُوْا فِيْهَا إِلاَّ أَنْ لَا تَجِدُوْا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوْهَا، وَكُلُوْا فِيْهَا.
“Aku pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Kami kadang berada di daerah orang-orang Ahli Kitab; maka apakah boleh kami makan menggunakan bejana (peralatan makan) mereka?’ Beliau menjawab, “Jangan kalian makan menggunakannya, kecuali kalian tidak mendapatkan yang lain, maka basuhlah dan makanlah menggunakannya’.” (Muttafaq Alaih).
* KOSA KATA
• Abu Tsa’labah al-Khusyani (yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah ) namanya ialah: Jurhum bin Nasyib, dari kabilah Khusyain bin an-Namir dan Qudha’ah. Beliau wafat th. 75 H.
• Kata آنِيَةٌ adalah bentuk kata jamak dari إِنَاءٌ dan artinya jelas, (yakni: bejana dan peralatan tempat menaruh makanan).
• Kata Ahli kitab, yakni: kaum Yahudi dan Nasrani.
*PENJELASAN
Hadits ini diriwayatkan dengan lafazh ini, “Kami kadang berada di daerah orang-orang Ahli Kitab; maka apakah boleh kami makan menggunakan bejana (peralatan makan) mereka?’ Beliau menjawab, “Jangan kalian makan menggunakannya’.” Maka hadits ini menunjukkan larangan makan menggunakan bejana Ahli Kitab, kecuali apabila tidak ada yang lain, maka boleh digunakan setelah sebelumnya dicuci terlebih dahulu. Ini menunjukkan bahwa ia adalah najis. Sedangkan hadits Imran bin Hushain yang akan datang berikut ini, yang menyatakan bahwa Nabi dan para sahabat pernah berwudhu dari bejana seorang wanita musyrik, menunjukkan bahwa bejana orang kafir adalah suci, padahal derajatnya di bawah ahli Kitab; sebagaimana Firman Allah Ta’ala,
{وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ}.
“Makanan orang-orang yang diberikan al-Kitab adalah halal bagi kalian dan makanan kalian juga halal bagi mereka.” (Al-Ma`idah: 5).
Bahkan Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah, lalu kami mendapatkan bejana dan tempat minum ahli kitab, lalu kami menggunakannya, sementara beliau tidak mencela kami”.
Pertentangan (yang tampak) ini bisa dihindari dengan membawa “larangan makan dengan menggunakan bejana ahli kitab” tadi, kepada bejana yang pernah digunakan untuk merebus daging babi atau khamar. Hal itu karena riwayat yang ada di hadapan kitab ini, walaupun ia bersifat mutlak (umum), tetapi ia dibatasi oleh riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud tersebut, yang lafazhnya menyebutkan, “Kami pernah melewati Ahli kitab, sementara mereka merebus daging babi dan mereka juga minum khamar menggunakan bejana mereka “, maka Rasulullah bersabda, “(Jangan kalian gunakan) apabila kalian mendapatkan yang lain…” dan seterusnya. Maka hadits yang mutlak (umum) ini dibawa kepada yang muqayyad.
* KESIMPULAN-KESIMPULAN:
1. Tidak boleh memakai bejana Ahli Kitab, jika digunakan untuk memasak babi.
2. Jika bejana ahli kitab digunakan untuk merebus babi atau minum khamar, maka boleh digunakan jika tidak ada yang lain, setelah terlebih dahulu dicuci.
Hadits lain yang ingin kami angkat adalah hadits no. 4 dari “Bab Menghilangkan Najis”, (sub air mani): (4): Dari Aisyah, beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَغْسِلُ الْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ فِيْ ذَلِكَ الثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغُسْلِ فِيْهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْه.
” Pernah suatu ketika Rasulullah mencuci air mani, kemudian pergi menuju Shalat dengan mengenakan baju tersebut, sementara saya melihat bekas cucian tersebut.” (Muttafaq Alaih).
Dalam riwayat Muslim berbunyi,
لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَرْكًا، فَيُصَلِّي فِيْهِ.
“Sungguh aku pernah (hanya) menguceknya (secara kering) dari baju Rasulullah, kemudian beliau shalat dengan mengenakannya.”
Dan dalam salah satu lafazh milik beliau (Muslim) berbunyi,
لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِيْ مِنْ ثَوْبِهِ.
“Sungguh aku pernah mengeriknya dengan kuku saya dalam keadaan kering dari baju beliau.”
* KOSA KATA:
• Aisyah: ialah Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhuma. Nabi menikahinya pada bulan Syawal tahun 10 kenabian, di Makkah, dalam usia 6 tahun, dan beliau membangun rumah tangga dengannya setelah hijrah ke Madinah, pada bulan syawal tahun 2 hijrah, setelah Aisyah berusia 9 tahun. Aisyah wafat di Madinah tahun 57 H.
• Kata الْمَنِي, yakni: cairan berwarna putih yang kental, yang baunya seperti pucuk kurma.
• Kata أَفْرُكُهُ, yakni: aku menguceknya (sekalipun tanpa air).
• Kata أَحُكُّهُ, yakni: aku mengeriknya.
* PENJELASAN
Al-Bazzar mengkelaim bahwa hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhain ini bermasalah pada Sulaiman bin Yasar, di mana dia tidak mendengar langsung dari Aisyah. Al-Bazzar mendahului Imam asy-Syafi’i dalam mengomentari hadits ini dalam al-umm, yang menukil dari lain-lainnya.
Klaim al-Bazzar ini tertolak dengan diriwayatkannya hadits ini oleh al-Bukhari yang didukung oleh Muslim, di mana hal itu menunjukkan bahwa Sulaiman bin Yasar benar-benar mendengar (riwayat) dari Aisyah, dan bahwasanya hadits ini adalah hadits marfu’nya kepada Nabi shahih adanya.
Hadits ini menunjukkan bahwa air mani dibersihkan dengan dicuci dengan air. Dan ini tidak bertentangan dengan riwayat Muslim yang lafazhnya hanya pada riwayatnya, yaitu menghilangkannya dengan dikucek atau dikerik; karena riwayat dengan cara mencuci dibawa kepada kondisi basah, dan riwayat dengan mengucek atau mengerik dibawa kepada kondisi kering.
* KESIMPULAN
1. Nasjisnya air mani.
2. Tabiat najisnya air mani berbeda dengan air kencing.
3. Jika air mani basah, harus dicuci dengan air.
4. Jika kering, maka cukup dikerik (dengan benda keras, seperti kuku).
PENUTUP DAN REKOMENDASI
Dibanding edisi terjemahan lain yang terbit di tanah air kita ini, edisi terjemah dan terbitan DARUL Haq ini memiliki keistimewaan yang patut menjadi perhatian Anda:
1. Teks hadits-hadits dan riwayat-riwayat dari Bulughul Maram ditulis utuh dan lengkap dengan harakatnya, sehingga memudahkan semua pihak untuk membaca teks aslinya, sebagaimana layaknya seseorang membaca kitab berbahasa Arab.
2. Pensyarah menggabungkan antara penjelasan riwayat dan dirayah terhadap hadits; sehingga berbagai permasalahan periwayatan hadits menjadi terjawab secara baik, begitu pula makna dan kandungan hadits, sehingga hukum-hukum yang dikandungnya menjadi muncul secara jelas.
3. Penjelasan penulis dimulai dari yang paling mendasar, yaitu makna kata-kata penting dari masing-masing hadits, sehingga pembaca bisa mengambil manfaat perbendaharaan bahasa Arab sekaligus.
4. Kesimpulan-kesimpulan yang diangkat penulis, fokus sesuai dengan tema di mana hadits tersebut dicantumkan. Ini penting, karena menjadi jelas dan sejalan dengan makna dan kandungan hukum yang dimaksud oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, penulis kitab matannya, yaitu Bulugh al-Maram.
5. Buku ini dipecah menjadi sepuluh jilid, tetapi tidak terlalu tebal, hanya rata-rata 300 an sampai dengan 400 an Halaman per jilid, sehingga sangat memudahkan untuk dibaca dan dibawa ke berbagai momen kajian ilmiah yang disampaikan oleh sejumlah ustadz.
Karena itu, buku ini kami anggap merupakan rujukan primer bagi setiap muslim yang ingin mendalami hukum-hukum Islam dan fikih, yang layak sebagai bahan kajian yang disampaikan di majlis-majlis kajian, bahan penlitian akademisi, dan rujukan pribadi.
Review
Belum ada ulasan.