Deskripsi
ARGUMENTASI PENTINGNYA BUKU INI
Banyak dalil yang disebutkan dalam buku induk koreksi dzikir dan doa, dan sebagiannya telah disebutkan pada resensi sebelumnya, yang menunjukkan wajibnya mengoreksi dzikir dan doa. Dan dalil-dalil tersebut akan menyadarkan kita semua, bahwa dzikir dan doa harus dikoreksi dari berbagai segi: nash atau redaksinya, tata cara, waktu, tempat dan sebagainya, agar tepat sebagaimana yang diinginkan oleh Allah melalui contoh dan ajaran RasulNya Shollallohu alaihi wasallam.
Koreksi yang dilakukan terhadap dzikir dan doa dalam buku ini, berangkat dari banyak hal: pertama, banyaknya dzikir-dzikir yang diucapkan oleh kaum muslimin yang tidak memiliki dalil. Kedua, adanya dzikir-dzikir yang memiliki dalil tetapi tidak shahih. Ketiga,dalil ada dan juga shahih, tetapi dilakukan dengan tata cara yang tidak sesuai dengan petunjuk Nabi Shollallohu alaihi wasallam. Keempat, ketiga-tiganya sudah benar, akan tetapi dilakukan tidak pada tempatnya. Kelima, bisa juga karena menetapkan jumlah dzikir atau doa yang tidak memiliki dasar. Dan masing-masing dari semua kekeliruan ini memiliki contoh yang banyak di tengah masyarakat kita.
Oleh sebab itu, buku ini sangatlah penting, karena meletakkan kaidah-kaidah dasar dan fakta-fakta yang riil, dalam tema koreksi dzikir dan doa. Buku ini adalah timbangan yang diletakkan penulis di hadapan setiap pembacanya, agar dengannya dia menimbang semua dzikir dan doanya, dalam berbagai ibadah dan rutinitas hidup, lalu mengevaluasi dan mengoreksinya berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah.
ISI BUKU SECARA RINGKAS
Syaikh Bakr Abu Zaid n menempuh metodologi pada setiap tema, dengan mengulas yang disyari’atkan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil yang menjadi pijakan, baru beliau menyuguhkan apa-apa yang tidak berdasar yang harus dikoreksi. Dan bagian ini mengoreksi dzikir dan doa berdasarkan tema-tema ilmiah. Sebagai contoh:
[1]. Berdzikir dengan lantunan lagu dan irama.
Syaik Bakr, sang penulis, menyebutkan bahwa kaum muslimin telah berijmak atas haramnya nyanyian dan alat-alat musik yang mengiringinya. Dan yang menyebutkan adanya ijmak atas hal ini adalah banyak ulama. Di antara mereka adalah Ibnul Jauzi, Ibnu ash-Shalah, al-Qurthubi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, al-Haitami dan banyak lagi selain mereka. Dan tentu saja hal ini harus dicermati berdasarkan pengecualian yang ada.
Akan tetapi dengan sangat disayangkan, sebagian di antara orang-orang yang menolak ijmak ini menjadikan nyanyian dengan segala alat-alat musik yang mengirinya sebagai wasilah (sarana) untuk beribadah kepada Allah, yang dalam hal ini, berdzikir dan berdoa. Lebih dari itu, mereka membuat tipu muslihat dan argumen, seperti: “irama itu menambah kerinduan kepada Allah”, “menambah daya cita rasa dalam berdzikir dan berdoa”. Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa berdzikir dan berdoa dengan irama dan nyanyian itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang telah sampai pada tingkat hakikat. Lalu muncul istilah musik-musik Islami. Dari mana ini semua? La haula Wala Quwwata Illa Billah.
Padahal para ulama telah menyatakan bahwa yang paling pertama membuat-buat bid’ah ini adalah orang-orang zindiq, yang dikenal dalam sejarah, memang berdzikir dan berdoa dalam bentuk sya’ir dan diiringi dengan rebana dari kulit, yang mereka namakan dengan at-Taghbir. Inilah yang pernah dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i n, “Aku meninggalkan kota Baghdad dan di sana terdapat suatu bid’ah yang dibuat-buat oleh orang-orang zindiq yang mereka namakan dengan at-Taghbir; yang dengannya mereka menghalangi manusia dari al-Qur`an.”
Dan di antara pengaruh buruk dari fenomena ini adalah menjangkitnya sebagian penyakitnya kepada dzikir dan doa yang disyari’atkan, seperti: bergoyang dan bergerak-gerak ketika berdzikir dan berdoa, berdzikir dan berdoa dengan irama dan nada sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani, bertepuk tangan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, berdzikir dan berdoa dengan suara keras, berteriak-teriak sebagaimana yang dilakukan oleh pengikut tarekat sesat, berdoa dengan sya’ir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah rangkuman masalah-masalah ini secara singkat.
Pertama: Bergoyang dan meliuk-liuk dalam berdzikir dan berdoa, baik ke kiri lalu ke kanan atau ke depan lalu ke belakang dan seterusnya.
Ini berasal dari cara penyembahan orang-orang kafir dari Bani Israil ketika menyembah patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri. Ketika Allah Ta’ala menyebutkan dalam Surat Thaha tentang para pengikut Samiri yang menyembah patung anak sapi, para ulama tafsir menyebutkan bahwasanya mereka menyembahnya dengan bergoyang dan meliuk-liuk.
Ini diperkuat oleh az-Zamakhsyari ketika menafsirkan Surat al-A’raf: 171, bahwasanya bergoyang-goyang ketika membaca kitab suci adalah perbuatan kaum yahudi, yaitu ketika mereka membaca Kitab Taurat.
Bergoyang dan meliuk-liuk saat berdzikir dan berdoa serta ketika membaca al-Qur`an, telah diingkari oleh banyak ulama. Semua mengenainya dapat Anda kaji dalam buku kita ini.
Tapi ini kemudian menjangkit ke tengah kaum muslimin, sehingga di berbagai belahan negeri kaum muslimin akan dengan mudah kita lihat anak-anak yang diajari menghafal al-Qur`an dengan menggoyangkan kepala bahkan badan. Padahal semua ini adalah bid’ah dan ajaran di luar islam yang menyusup ke dalam tata cara ibadah kaum muslimin, yang harus dibuang dan dikoreksi.
Kedua: Mengiramakan dan menadakan dzikir dan doa.
Bid’ah mengiramakan dan menadakan dzikir dan doa, baik dalam dzikir yang disyariatkan, seperti membaca shalawat atau menyampaikan khutbah atau dzikir, puji-pujian serta shalawat yang dikarang-karang, adalah bid’ah-bid’ah yang wajib ditinggalkan; karena tidak sejalan dengan kekhusyu’an dan ketenangan serta ketundukan dalam ibadah yang diajarkan oleh Islam.
Ketiga: Mengeraskan suara dalam berdzikir dan berdoa.
Ini juga tata cara yang ditambah-tambahkan kepada dzikir dan doa, padahal Allah telah memerintahkan sekaligus mengingatkan dengan FirmanNya,
“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 55).
Banyak ulama tafsir yang mengatakan, bahwa makna Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”, adalah: melampaui batas dengan mengeraskan suara dalam berdoa.
Allah Ta’ala juga mengingatkan masalah ini dengan FirmanNya,
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf :205)
Bahkan Allah Ta’ala dengan kalimat yang jelas melarang mengeraskan suara dalam doa. Allah berfirman,
{قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا}.
“Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asma`ul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam doamu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (Al-Isra`: 110).
Kata بِصَلَاتِكَ dalam ayat ini, maksudnya adalah dalam doamu, sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih oleh al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Rodhiyallohu anha.
Bagitu juga dalam hadits, Rasulullah Shollallohu alaihi wasallam menegur sebagian sahabat yang berdoa dengan suara keras dengan bersabda,
“Wahai sekalian manusia! Kasihilah diri kalian; karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan jauh, akan tetapi kalian berdoa kepada Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha dekat dan Dia bersama kalian.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Ayat-ayat dan hadits-hadits di atas sangat jelas, akan tetapi begitu banyak di antara kaum muslimin yang berdzikir dan berdoa dengan berteriak-teriak, bahkan tidak cukup sampai di situ, mereka juga kadang memakai speaker hingga tengah malam, sehingga mengganggu masyarakat. Padahal bila maksudnya adalah agar didengar orang banyak, maka itu adalah riya` dan sum’ah, dan bila maksudnya adalah agar didengar oleh Allah, maka itu adalah sikap pelecehan terhadap Allah Yang Maha mendengar suara langkah semut hitam yang kecil di atas batu hitam sekalipun. Lalu untuk apa menggunakan speaker? Untuk apa mengeraskan suara dalam dzikir?
Nah, ulasan singkat ketiga sub ini, mudah-mudahan mewakili sub-sub lainnya, yang diulas lengkap dan detil oleh penulis.
KOREKSI DZIKIR DAN DOA BERKAITAN DENGAN TEMPAT.
Sub ini mengoreksi dzikir dan doa di berbagai tempat yang diyakini sebagai tempat mustajabnya doa oleh sebagian orang, padahal tidak memiliki dasar sama sekali.
Dan secara ringkas Syaikh Bakr, penulis, membuka bagian ini dengan berkata, “Sengaja berdzikir dan berdoa serta segala macam ibadah selainnya, di tempat manapun yang tidak ditunjukkan oleh syariat secara khusus, baik kuburan, atau masjid, atau gunung, atau gua, atau negeri, atau kubah, atau kuburan para tokoh, dan semacamnya, maka itu semua adalah bid’ah yang sesat.”
Berdzikir dan berdoa di kuburan
Tidak ada keraguan bahwa berziarah ke kuburan, demi untuk mengingat hari akhirat dan demi menumbuhkan kesadaran bahwa semua kita akan meninggalkan dunia fana ini, serta untuk mendoakan sanak saudara yang telah lebih dahulu pergi ke alam barzhakh, adalah sesuatu yang disyari’atkan. Akan tetapi tujuan-tujuan agung yang telah digariskan oleh Syariat ini, kemudian dikhianati oleh para pengikut hawa nafsu, sehingga banyak kaum muslimin yang terpedaya oleh para penyeru sesat tersebut, datang ke kuburan dengan tujuan-tujuan bid’ah bahkan syirik yang terang-terangan. Ada yang datang untuk berdoa untuk dirinya, untuk membaca al-Qur`an, mengadu kepada kuburan, duduk dan tafakur tentang nasib di depan kuburan dengan harapan nasib akan segera berubah karenanya, mencium nisan kuburan, datang untuk shalat di kuburan, berdoa dengan bertawassul dengan pemilik kuburan, entah itu wali atau nabi atau bahkan banyak yang tidak diketahui siapa yang dikuburkan di dalamnya.
Dan karena itu, muncul berbagai kuburan fiktif dan tidak diketahui dari mana asal usulnya, yang ditunggui oleh para preman bersorban dan berpeci. Dan ini dengan mudah dapat kita temukan di berbagai pelosok negeri muslim, dan tidak terkecuali di Indonesia.
Nah, ada begitu banyak rincian dan data yang berkaitan dengan koreksi masalah ini, yang hanya dapat Anda kaji secara detil di sini.
Tempat-tempat bersejarah
Ini juga tidak berdasar, maka kita sangat prihatin melihat sebagian jamaah haji yang membuang-buang waktu di Sauddi Arabia dengan pergi ke sana ke mari hanya untuk berdoa dan shalat di sana, seperti: gua Hira`, Gua Tsur, dan sebagainya.
KOREKSI DZIKIR DAN DOA BERKAITAN DENGAN WAKTU
Al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid, penulis, mengulas bagian ini dengan cermat, dari segi: sejarah munculnya suatu bid’ah, bunyi lafazh doa dan sebagainya. Dan di antara bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan sub ini:
1). Doa awal tahun. 2). Doa akhir tahun. 3). Doa awal bulan. 4). Doa hari Asyura`. Ini dijadikan sebagai hari duka cita dan belasungkawa bagi al-Husain, oleh golongan Syi’ah—semoga Allah membinasakan mereka—dan mereka menciptakan berbagai kemungkaran dan kesesatan padanya. Ini kemudian menyusup ke tengah masyarakat Ahlus Sunnah, dan ditambah lagi dengan berbagai bid’ah-bid’ah baru. Maka muncullah istilah doa Asyura`, lalu muncul pula budaya menghidupkan malam Asura` dengan shalat, dzikir, baca al-Qur`an dan doa. Lalu muncul berbagai kedustaan lain, seperti: barangsiapa yang membaca doa Asyura` tersebut, maka dia tidak akan mati pada tahun itu. Juga seperti: barangsiapa yang membakar kemenyan pada malam Asyura`, maka dia terbebas dari kedengkian orang, sihir, dan santet.
Padahal para ulama telah melakukan penelitian seksama, dan menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun hadits shahih tentang keutamaan hari maupun malam Asyura`, kecuali berpuasa padanya disertai dengan sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.
5). Doa bulan Rajab. Berbagai bid’ah berkaitan dengan bulan Rajab ini tersebar luas di berbagai pelosok negeri kaum muslimin secara umum. Maka kita sering mendengar yang disebut dengan Dzikir dan Doa pada malam tanggal 27 Rajab yang dibarengi dengan berkumpul merayakan malam Isra` dan Mi’raj. Dan banyak bid’ah-bid’ah lain berkaitan dengan bulan Rajab yang disunting secara detil dalam buku ini.
6). Doa malam Nishfu Sya’ban. Tidak ada dalil shahih tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Tapi para pengikut hawa nafsu telah menyebarkan berbagai bid’ah dan kemungkaran berkaitan dengan malam yang satu ini. Semuanya dapat Anda kaji di sini.
7). Dan masih banyak lagi yang lainnya.
KOREKSI DZIKIR DAN DOA BERKAITAN DENGAN TATA CARA
- Mengangkat Kedua Tangan
Pertama: Yang disyari’atkan adalah mengangkat kedua tangan dalam berdoa
Syaikh Bakar mengawali pembahasan ini dengan mengatakan, “Terdapat hadits-hadits yang mencapai derajat mutawatir secara maknawi dalam berbagai momen, yang menyebutkan bahwa Nabi SAW mengangkat kedua tangan beliau untuk berdoa…” lalu beliau menyebutkannya secara rinci.
Maka hukumnya adalah sunnah dan termasuk di antara adab-adab berdoa, dan ini adalah ijmak. Kecuali pada satu tempat, yaitu dalam khutbah jum’ah, maka tidak boleh mengangkat kedua tangan baik bagi khathib maupun makmum, kecuali apabila imam berdoa memohon hujan, maka disunnahkan mengangkat kedua tangan.
Dalam bagian ini, banyak rincian lain yang perlu Anda ketahui.
- Koreksi Tata Cara Berdzikir dan Berdoa.
Sub ini mencakup pembahasan:
- Mengangkat pandangan ke langit ketika berdoa. Yakni, apakah disyari’atkan mengangkat pandangan ke langit ketika berdoa?
- Peran kedua tangan dalam berdzikir dan berdoa.
- Cara mengucapkan dzikir dan doa. Yang dimaksud adalah tata cara yang dilakukan atau bahkan diyakini sebagai yang utama dalam melafalkan dzikir dan doa. Seperti: mengucapkan kalimat tauhid dengan lidah dilipat, berdzikir dengan suara dada, mengucapkan lafazh dzikir dengan tanpa huruf, yang diklaim oleh sebagian kalangan pengikut tarekat sebagai cara yang tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh pengikut tarekat yang telah mencapai derajat tinggi.
- Menangis dalam berdzikir dan berdoa. Sekalipun menangis dalam berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah, terlebih ketika membaca al-Qur`an, benar secara syar’i dan aqli, tetapi ternyata begitu banyak kekeliruan yang dilakukan kelompok-kelompok sempalan dalam islam, yang berkaitan dengan menangis ini. Ada yang meraung-raung, ada yang hingga sampai seperti kesurupan, bahkan ada yang sampai pingsan.
- Dzikir berjamaah. Yakni, apakah ada dasarnya berdzikir dan berdoa dengan cara berjamaah?
Kelima poin ini dapat Anda kaji secara detil dalam buku ini lengkap dengan berbagai sisi pembahasannya.
- Cara mengitung dzikir. Berdasarkan sejumlah hadits shahih, yang sunnah adalah menghitung dzikir dengan jari-jari tangan, dan ini ditegaskan oleh Nabi Shollallohu alaihi wasallam dengan sabda dan perbuatan beliau. Lalu bagaimana menghitung dzikir dengan biji-biji tasbeh? Ada banyak hadits yang menyebutkan masalah ini, akan tetapi semuanya tidak shahih. Juga terdapat sejumlah atsar dari sejumlah sahabat Nabi Shollallohu alaihi wasallam, akan tetapi semuanya juga bermasalah. Semua riwayat hadits dan atsar tersebut diulas secara seksama dalam buku ini, sehingga kesimpulan hukum menjadi sangat meyakinkan. Maka silahkan Anda dalami di sini.
REKOMENDASI DAN PENUTUP
Ada begitu banyak buku-buku dzikir dan doa yang beredar di tanah air, akan tetapi hanya buku ini yang sekalipun dengan jumlah halaman cukup tebal tetapi fokus mengoreksi berbagai kesalahan dan kekeliruan dalam dzikir dan doa, setelah terlebih dahulu menjabarkan apa-apa yang disyari’atkan dalam kaitan keduanya. Karena itu, buku ini mengajarkan dzikir dan doa dalam berbagai kesempatan, dan juga mengoreksi berbagai hal yang keliru yang tersebar luas di tengah masyarakat dalam tema dzikir dan doa.
Buku ini termasuk di antara buku terbaik dalam tema dzikir dan doa; baik dari segi yang disyari’atkan maupun koreksi terhadap yang tidak disyari’atkan.
Review
Belum ada ulasan.